Matahariku, Aku sedang memejamkan mata Kemudian Kaukah itu? Terlihat mengacak rambutku, tertawa lepas dan memandangku dengan sorot mata teduh melindungi Aku menarik bibirku, berikan senyum tulusku Lalu, kau menarik tanganku Membawaku bersama mimpimu Menggenggam tanganku seerat ikatan hati, Aku merasakan tenang dan tenteram Aku serasa ingin malam ini turun hujan, Karena hujan itu indah, hujan itu tenang, hujan itu gemuruh hati, hujan itu air mata Hujan turun berarti bahwa sedihku, resahku, tangisku, rinduku lenyap dan pecah Dengar aku Matahariku Peluk aku, dekap aku, jaga aku.. Karena aku telah mati di rengkuhmu.. Sedetik kemudian aku terlelap dalam mimpi dan harapan yang menggantung dalam nadi. *** Pagi ini aku kembali menyusuri koridor sekolah bersiap duduk berlama-lama hanya untuk ilmu. Lima langkah menuju kelas, pandanganku selalu tertuju pada bangku pojok kanan. Ya, di situlah harapanku. Agaknya pagi ini aku berangkat agak pagi karena kelas masih sepi dan matahariku belum juga datang. Aku meletakkan tasku di bangku pojok kiri. Undian kali ini aku kebagian duduk di pojok belakang. Aku mulai membuka koran yang sengaja kubawa karena kemarin aku belum sempat membacanya. Eh, da koran baru ya Non? tegur Deny. Yups Kemaren lum sempet baca, jawabku. Pinjem donk, sebentar ajah, sahut Deny seraya menunjukkan muka sok imut. Bibirku manyun beberapa senti namun luluh tiga detik selanjutnya. Kusodorkan koran tersebut dan secepat kilat Deny membawanya ke bangkunya. Aku terdiam dan tanpa sengaja melayangkan pandangku ke bangku pojok di seberang bangkuku. Ya, bangku yang setiap pagi harus menerima nasibnya untuk kulirik dan kulirik selalu. Aku menyandarkan punggung ke dinding, kali ini tidak melirik tapi memandang. Jam menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Seseorang berjaket coklat dengan kacamata bertengger di kedua matanya nampak beberapa langkah lagi memasuki kelas. Aku segera mengalihkan pandangku ke objek lain, yaitu koran di tangan Deny. Karena aku, tidak ingin dia memergoki aku sedang memperhatikannya. Den, udah belum? tanyaku sembari menunjuk koran. Ahh Bentar donk! jawab Deny ketus. Uggh Dasar! Deny hanya menoleh dan memasang senyum gak jelas, sama seperti tadi. Kukira dia emang obsesi untuk jadi imut. *** Jam pelajaran Bu Iffah, Matematika, aku sengaja keluar karena aku selamat dari cengekeraman iblis remidi yang sekarang melanda delapan orang anak di kelasku. Puji syukur! Aku duduk di bangku panjang di depan kelas dan mulai melanjutkan membaca koran. Di sampingku ada Eka, Tiwi dan Safi. Aduh, aku pusing banget Rin! kata Eka sambil memegangi kepalanya. Aku juga sih sebenernya, tapi abis kena pesona Obama, jadi agak berkurang deh, jawabku seraya menunjukkan koran yang memuat foto Obama, presiden Amerika terpilih ke-44. EhObama yah! sahut Tiwi sambil melongokkan kepalanya ke koran yang kubaca. Iyakemaren ndak sempet baca. Nihbiar nggak nganggur, ujarku sambil menyodorkan bagian koran lain ke Tiwi. Hehe, ringis Tiwi. Kemudian aku dikejutkan oleh seorang yang lewat dan menyapa Tiwi. Dia ternyata penghuni bangku yang kupandangi tadi pagi. Hey Wi. Ikut aku yuk! ajak dia. Ke mana? tanya Tiwi. Ke perpus, jawabnya. Tapi masih baca. Ayo ga papa! Bacanya di perpus aja. Tapi ini punya Arin, jawab Tiwi. Seseorang itu kemudian melengos dan meninggalkan kita berempat. Eh, ke perpus yuk! ajak Elis ke Eka. Tapi, malah Tiwi yang bersemangat. Yuk!!! Sejurus kemudian ia meninggalkan koran itu begitu saja dan berjalan bersama Elis menuju perpus. Aku yang saat itu pura-pura tenggelam dalam bacaan koran mencoba menghapus luka gores. Seseorang itu lagi-lagi tak menggubrisku sedikit pun. Tapi akhirnya ada hasrat yang menuntunku untuk mengikuti ke perpus. Kemudian aku dan Eka segera menyusul mereka. Pemandangan pertama di perpus adalah seseorang itu, koran, dan Tiwi. Beradu dalam satu melodi siang bolong. Aku yang tak rela, segera menenangkan hati dengan pura-pura tenggelam dalam koran. Lagi. Kali ini hatiku berkaca-kaca. Entah kenapa aku tak mau melewatkan sedetik pun untuk tidak memandang dia. Dan untuk pertama kali setelah sekian lama, aku memergoki dia yang juga sedang mengolah pandang kepadaku. Lukaku sejenak sirna dan berbunga. *** Sore ini, mendung merundung bumi. Aku mengayuh sepeda Phoenix hitamku menyusuri jalanan kota sambil menikmati mendung yang menggantung. Namun, sejenak kemudian aku seperti tersambar petir tanpa kilat. Aku melihat pemandangan asing yang tak pernah aku sangka. Bruummm!! Suara motor itu mendahului jalanku. Ternyata seseorang yang kupuja dan kuharapkan, sedang membonceng Tiwi menikmati sore. Dan yang paling menyakitkan, mereka tidak menyapa atau sekedar tersenyum kepadaku. Mereka tenggelam dalam dunia mereka. Kali ini hatiku bukan hanya tergores ataupun berkaca-kaca. Namun, kali ini hatiku benar-benar tertusuk dan menangis. Matahariku Secepat itukah aku hilang? Sementara aku sulit dan sangat sulit untuk mengisi ruang kosong yang kau tinggalkan Mengenai janji yang kau ucap dulu, Ternyata kau sudah menemukan matahari lain Aku menangis dalam mendung, dan aku berharap hujan segera turun. Turun bersama air mataku yang deras. Dan aku bisa menangis sepuasku tanpa ada seorang pun yang tahu. Kemudian, Tuhan mengabulkan doaku. *** Aku menggigil dalam dingin malam membeku. Bulan kemudian mendekat dan membelai punggungku. Rasanya aku memang harus bercerita. Tapi tidak!! Bulan sudah mengerti. Tak perlu aku harus bercerita. Aku kembali menengadahkan wajah ke haribaan malam. Memejankan mata dan merasakan hembusan dewi malam. Matahariku. Seseorang hadir dan mengagetkanku. Diam membisu dan kosong. Seseorang itu menghampiri dan mengacak rambutku. Duduk di sampingku kemudian memandangku. Menatap mataku. Aku kembali menggigil karena dewi malam berhembus terlalu kencang. Seseorang itu meraih tubuhku dan mendekapku dalam dadanya. Memelukku dalam indah dan hangatnya waktu. Kemudian dia membisikkan sesuatu, A piece of love for you, Dear. Aku tersenyum kemudian membuka mataku. Bulan masih berada di sampingku, namun segera beranjak dan berpamitan untuk lanjutkan tugas. Sepotong cinta yang indah dari duniaku yang semu. Berharap matahariku akan kembali dalam duniaku yang sebenarnya.
Rabu, 18 November 2009
A Piece of Love for Arin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar