Malam ini, kuhabiskan malamku di klub seperti biasa. Aku Andita, gadis kaya dari keluarga broken home yang mencari pelarian di sebuah klub malam. Papa dan Mamaku mana tahu anak gadisnya ada di sini?! Yang mereka tahu hanya urusan pekerjaan dan segala tetek bengek tentang sidang perceraian mereka. Mana pernah aku hadir dalam pikiran mereka?! Dan mana pernah mereka mengingatku dalam setumpuk rutinitas kerja mereka yang sangat padat?!
Hampir tiap malam aku datang ke klub ini. Berlari dari rumah megah orang tuaku, yang kata orang seperti istana, namun buatku tak lebih dari neraka. Di klub ini aku menemukan kegembiraanku. Tubuhku bergoyang " goyang mengikuti irama musik yang melarutkan frustasiku. Segala kepenatan dan rasa sakit karena masalah orang tuaku bisa bebas kukeluarkan di sini. Tempat ini begitu ramai. Jadi, bukan masalah jika aku berteriak sesuka hatiku. Toh, banyak orang berteriak " teriak sepertiku di tempat ini.
Walaupun hampir tiap malam aku ke klub ini tapi bukan berarti aku tak bisa menjaga diriku. Segala macam narkoba dan minuman keras tak pernah kubiarkan mencemari darahku. Begitu juga free sex yang biasa dilakukan teman " temanku di sini, aku tak berminat untuk mencobanya. Aku hanya ingin bersenang " senang di sini, melupakan neraka itu, bukan untuk mencemari ataupun menjual tubuhku dengan hal " hal yang tidak berguna.
Satu hal yang membuatku begitu senang berlama " lama di klub ini adalah kehadiran seorang DJ yang bekerja di sini. Mario, itu namanya. Pertama kali aku datang ke klub ini, aku masih ingat. Waktu itu aku masih kelas 3 SMA dan itu adalah pertama kalinya aku melihat klimaks pertengkaran orang tuaku hingga terlontar kata "cerai". Mama memergoki Papa sedang kencan dengan wanita lain setelah jam kantor usai. Dan malam itu menjadi malam pertengkaran yang paling hebat yang pernah kulihat. Dari lantai atas aku melihat dengan jelas bagaimana Papa dengan entengnya menampar dan memukul Mama demi menutupi kebohongannya yang terbongkar. Dan Mama yang dalam keadaan terdesak masih mencoba untuk terus mengumpat Papa. Setelah sejam pertengkaran itu berlangsung, mereka masuk dalam ruangan yang berbeda. Karena aku begitu shock, aku memutuskan untuk kabur dari rumah. Waktu itu, entah kenapa aku berjalan menuju klub ini. Waktu itu, aku mendengar alunan musik slow yang menenangkan dari klub ini. Aku pun masuk dan memilih untuk menyendiri di bangku ujung klub ini. Begitu lama aku di sini hingga pagi beranjak datang dan klub ini hampir tutup. Sampai kemudian datanglah seorang cowok menghampiriku. Dia bertanya keadaanku, dan kemudian mengantarku pulang. Sampai akhirnya aku tahu namanya Mario, seorang Disk Jockey yang bekerja di klub ini.
" Hei..!" Sebuah seruan keras yang menghentikan goyanganku terdengar di telingaku. Aku menoleh, Mario rupanya.
" Oh, hei," balasku.
Mario menarik tanganku menepi dari dance floor.
" Kenapa?" tanyaku.
" Kamu ga capek?"
Aku menggelengkan kepalaku.
" Ini nyaris jam dua, Neng," ujar Mario sambil menunjukkan jam tangannya.
Aku melengos acuh. " Aku ga peduli. Aku males kembali ke neraka itu."
Ya, Mario memang sudah tahu semuanya. Sejak malam itu, kami makin akrab. Dan pada dialah aku menceritakan semua kondisiku. Dia dua tahun lebih tua dari aku. Dan dia selalu bisa membuatku tenang dengan kata - katanya.
" Ya tapi kan kamu masih harus kuliah, Neng. Jangan mentang " mentang udah ga SMA jadi mikir bisa pulang kapan aja gitu dong. Kamu jam 10 ada kuliah kan? Ini udah jam dua, mau pulang jam berapa? Emang tugas " tugas kuliahmu udah selesai?"
Aku menggeleng. " Belum. Tapi aku malas ah. Kamu aja yang kuliah sana, nanti isi absenku."
Mario tertawa, " Hahaha"kamu ada " ada aja. Mana bisa kayak gitu?"
" Duh Rio, kamu kok bawel banget sih?! Kalo aku bilang malas ya malas!"
Mario menatapku dan aku balas menatapnya. " Kamu pasti mau ceramahin aku."
Mario tersenyum dan menggeleng. " Shift kerjaku udah selesai nih. Pulang yuk. Aku capek."
Kupandang Mario dengan tatapan sebal. Dia selalu punya cara untuk membawaku kembali ke neraka itu.
" Gimana kuliahmu, Neng?" tanya Mario dalam perjalanan pulang.
" Biasa aja. Baru juga semester tiga ini."
Mario mengangguk " angguk mendengar jawabanku.
" Kalo masalah Ma"."
" Besok mereka sidang lagi!" kujawab pertanyaannya sebelum Mario menyelesaikan kalimatnya. " Sidang yang terakhir. Sidang yang memutuskan semuanya."
Mario menggandeng tanganku. Air mataku mulai merebak, dadaku mulai sesak.
" Jangan kuatir, aku ada di sini. Aku berjanji akan menemanimu menghadapi semuanya," ujar Mario lembut.
Mario, orang yang selalu ada saat aku sedang membutuhkan pertolongan. Orang yang selalu ada saat aku membutuhkan kekuatan. Orang yang selalu ada bahkan saat aku dalam kondisi paling buruk sekalipun. Orang yang mampu membuatku merasakan bahwa masih ada yang mencintaiku, menyayangiku, dan memperhatikanku.
Pagi ini, aku bertemu Mama di meja makan sebelum aku berangkat kuliah. Wajahnya tampak kuyu, pasti semalam terjadi pertengkaran lagi. Samar " samar aku melihat memar di tangan Mama. Mungkin mereka bertengkar saat aku ada di klub. Dengan enggan aku mendekat, sekedar meneguk segelas susu untuk mengisi perut.
" Pulang kuliah jam berapa, Dit?" tanya Mama ketika aku beranjak pergi.
Aku hanya mengangkat bahuku dengan malas.
" Temani Mama jam 1 siang ini. Kamu juga perlu mendengar keputusan sidang siang ini."
Aku diam saja tanpa memandang wajah Mama. Air mataku mulai merebak. Aku anak tunggal, dan ibuku sendiri memintaku untuk melihat perpisahannya dengan suaminya, ayahku.
" Katakan sesuatu, Andita!" perintah Mama.
" Katakan apa, Ma?! Dita udah bosen sama kata sidang, sidang, dan sidang! Mama pikir aku akan dengan senang hati datang dan melihat perpisahan kalian? Ha?! Aku pikir pergi berhura " hura akan jauh lebih menyenangkan dari pada datang melihat kalian!" jawabku kasar.
" Andita! Dengarkan dan patuhi Mama! Kamu harus dengar keputusan sidang siang ini. Hari ini memutuskan hak asuhmu jatuh ke tangan siapa. Kamu ngerti?!"
" Andita ga peduli! Mama denger? Aku-ga-peduli. Lebih baik aku hidup di jalanan, Ma. Daripada harus memilih satu dari kalian. Aku pergi, Ma,"ujarku sambil pergi meninggalkan Mama. Aku ga mau Mama melihat air mataku.
" Aku ga ngerti harus gimana, Rio. Aku bingung." Aku menangis di depan Mario siang ini.
Sekali lagi dia begitu setia menemuiku seusai kuliah hanya untuk mendengar keluhanku tentang orang tuaku. " Aku pengen datang ke sidang itu, aku pengen ngasih support buat Mama. Tapi" aku ga mau liat orang tuaku cerai."
Aku menutup wajah dengan kedua tanganku, tanda kalau aku sudah putus asa. "Aku harus gimana, Yo?"
" Neng, kalau kamu ada di posisi Mama, apa yang kamu harapkan? Dia sudah diperlakukan tidak baik oleh suaminya, dia tidak mendapat apa yang seharusnya didapat sebagai isteri, apa iya dia juga harus kehilangan apa yang seharusnya dia dapat sebagai ibu?"
Aku menatap Mario dengan tatapan tak mengerti. " Maksud kamu?"
Mario tersenyum. " Saat ini, dia hanya mengharap sebuah dukungan dari orang yang menyayangi dan disayanginya. Siapa lagi kalo bukan kamu, Neng? Anaknya sendiri."
" Jadi, menurutmu aku harus datang ke sidang itu?"
Mario mengangguk.
" Tapi aku ga siap dengan hasil persidangan, Yo."
" Neng, apapun hasilnya, pikirkan nanti saja. Yang penting saat ini adalah bagaimana kamu bisa nunjukin ke Mama bahwa masih ada orang yang peduli padanya. Masih ada kamu yang sayang sama dia."
Aku hanya menggelengkan kepala. Mama sudah terlalu banyak kesakitan karena Papa. Sudah banyak kebohongan yang dilontarkan Papa padaku dan Mama. Oh, Tuhan. Jika memang ini yang terbaik, kuatkanlah aku.
" Aku akan nemenin kamu, Neng," ujar Mario sambil menggenggam tanganku.
Handphoneku tiba " tiba berdering saat aku dalam perjalanan ke persidangan. Ah, telepon dari Mama.
" Halo, Ma? Iya. Andita udah pulang kok. Andita lagi di jalan mau ke pengadilan. Kenapa, Ma?"
Aku terdiam mendengar suara Mama yang terdengar panik.
" Apa, Ma?!! Ya udah, Mama ke sana duluan aja. Dita nyusul ke sana."
"Kenapa, Neng?" tanya Mario.
" Rio, kita puter balik ke Rumah Sakit Tirto Waras sekarang!"
Aku segera turun begitu mobil parkir di depan UGD. Kulihat Mama berjalan menghampiriku dengan tergesa.
" Mama"" Aku memeluk Mama yang menangis di pelukanku.
" Dita, Mama ga tahu harus sedih atau senang dengan kejadian ini. Mama bingung, Dit. Mama bingung. Huhuhu"" Mama tersedu " sedu di pelukanku.
" Andita juga ga tahu, Ma. Yang jelas, semua kejadian pasti ada hikmahnya."
Sore hari ini juga, Mario masih setia ada di sampingku. Aku berdiri di samping Mama yang masih menangis. Sementara aku hanya bisa terdiam melihat gundukan tanah merah, tempat peristirahatan Papa. Siang tadi, sesaat sebelum persidangan, Papa mengalami kecelakaan di jalan tol. Mobil yang dikendarai Papa bertabrakan dengan sebuah truk pengangkut barang yang dikendarai oleh sopir dalam keadaan ngantuk. Dalam kecelakaan itu, ada tiga korban tewas di tempat. Sopir truk yang menabrak Papa, Papa, dan wanita lain itu. Aku masih tak percaya dengan kejadian ini. Rupanya Papa berniat mengantar wanita lain itu pulang sebelum datang ke persidangan.
" Aku bener " bener ga ngerti dengan kejadian ini, Yo," ujarku pada Mario seusai dari pemakaman Papa.
" Tuhan punya banyak cara untuk menyelesaikan masalah umat-Nya, Neng."
" Inikah cara Tuhan menyelesaikan masalah keluargaku yang hancur berantakan?"
Mario mengankat bahunya. " Entahlah, hanya Dia yang tahu. Yang jelas, apapun yang terjadi dalam hidup kita, kita harus bisa mensyukurinya."
Aku hanya mengangguk "angguk mendengar Mario
" Aku seneng deh ngeliat sikapmu menghadapi masalahmu."
" O ya? Kenapa emang?" tanyaku tak mengerti.
" Kamu menghadapi masalah ini dengan caramu sendiri. Cara yang terlihat serupa dengan orang lain yang punya masalah sama, tapi ternyata berbeda."
Aku mengernyitkan dahi tak mengerti. " Apa sih maksudnya?"
" Yaa.. kamu pergi ke klub yang kebanyakan berisi orang " orang putus asa, tapi kamu tidak mencemari dirimu sendiri."
Aku tersenyum mendengarnya. " Iya lah.. kan niatku cuma pengen keluar aja dari neraka itu."
" Tapi sekarang udah ga neraka lagi kan?" Mario menghentikan langkah dan menggenggam tanganku. " Jalani hidupmu bersama Mama, Neng. Buatlah neraka itu menjadi surga bagi kalian berdua."
" Dan kamu, DJ? Selama ini kamu yang menghadirkan surga itu kan dalam hidupku?"
" Aku akan tetap ada di sini, di dekatmu. Menemanimu menghadapi semuanya. Mulai sekarang, jangan ke klub lagi ya."
" Kenapa?"
" Aku ga ingin kamu larut dengan kehidupan malam di klub. Ga baik untukmu. Sudah ada Mama yang lebih butuh kamu untuk menghabiskan malam."
" Tapi kamu""
" Ya aku akan tetap di sana. Itu tempatku bekerja, Neng."
Aku menatap Mario. " Tapi ku ga akan kehilangan kamu kan, DJ?"
Dengan senyum lembutnya Mario menggeleng. " Aku akan memainkan banyak nada yang membuatmu gembira, Neng."
Dan kami pun berjalan bersama bergandengan dengan hati berbunga " bunga. Tuhan memang adil. Dia selalu punya sesuatu yang indah di balik semua kejadian. Dan Mario adalah hal yang paling indah yang dihadirkan Tuhan dalam hidupku. I love you, DJ Mario""
KolomKita.Com " 2009 All Rights Reserved.
Powered by YS Media