VIVAnews - Selain karena alasan ekspresif, seorang psikologi dari University di South Florida, Charles Speilberger, Ph.D menganggap para wanita memiliki hormon yang tidak stabil.
Bahkan, menuri co-editor buku berjudul 'International Handbook of Anger' ini, kemarahan telah mendapat fasilitasnya sendiri. "Kini wanita lebih senang melampiaskan kemarahannya lewat media jejaring sosial, reality show sampai menulis buku."
Kemarahan, diakui Speilberger, tidak lain halnya seperti hubungan intim yang hampir dilakukan secara rutin. Lalu apa sebenarnya alasan yang mendasari kemarahan Anda? Akankah Anda ingin mengubah kebiasaan buruk ini? Lihat tipsnya.
Pemicu kemarahan dan solusinya?
Dulu, seringkali Anda mengekspresikan kemarahan dengan membanting pintu lalu pergi meninggalkan orang yang membuat kita marah.
Tapi kini, zaman sudah berubah, dunia teknologi makin membebaskan Anda untuk meluapkan kemarahan. Bisa dengan mengetik Email, SMS, bahkan membuat status Facebok atau Twitter. Namun, hal ini justru dinilai berbahaya. Menurut Scott Wetzler, Ph.D., seorang psikiater dan profesor dari New York City Montefiore Medical Center, tindakan ini berbahaya bagi kondisi psikis orang yang sedang marah. Terutama wanita.
"Orang yang meluapkan kemarahannya sendiri, dalam arti hanya mencurahkan dalam akun jejaring sosial atau melalui Email, akan kehilangan betapa pentingnya argumen dan konfrontasi," ucapnya, seperti dikutip dari Shine.
Intinya, Anda tetap membutuhkan kehadiran orang lain sebagai media konfrontasi. "Mengatasi masalah dengan kesendirian hanya akan memicu kemarahan itu semakin parah," tambahnya.
Menurut Wetzler, kemarahan akan berefek positif jika Anda bisa melihat reaksi wajah, bahasa tubuh dan mendengar intonasi suara lawan bicara Anda, saat melakukan percakapan. Jadi, semua hal yang membuat Anda bisa langsung mendapat respon dan diselesaikan secara langsung.
Dengan kata lain, argumentasi dan komunikasi bisa menjadi jalan terbaik untuk meredam dan perlahan-lahan menghilangkan amarah Anda.
Sebaliknya, wanita yang cenderung hobi meluapkan kemarahan itu hanya dengan mengetik status di akun jejaring sosial, justru akan memicu kemarahan itu semakin memuncak.
"Mungkin Anda merasa puas dengan menghujat lewat tulisan, namun semakin Anda merasa puas, tanpa disadari, emosi kemarahan itu akan semakin menjadi-jadi," kata profesor itu menambahkan.
Hal ini juga dibenarkan oleh seorang peneliti dari University of Minnesota. Dia mengatakan, bahkan komunikasi melalui telepon seluler pun penuh risiko. "Kualitas suara yang buruk dan gangguan lainnya bisa menjadi salah tafsir. Akibatnya bisa menyebabkan konflik, rasa sakit hati dan kesalahpahaman," ungkapnya.
Eddie Reece, seorang psikoterapis yang berbasis di Atlanta, membedakan antara kemarahan menjadi dua, negatif dan positif. Marah negatif sering ditandai dengan berteriak dan memukul. Sedangkan kemarahan positif, didasari oleh kematangan, komunikasi yang terkendali dan kepercayaan diri. Tidak perlu menahan perasaan, kata Reece, cukup atur cara Anda berkomunikasi.
"Kemarahan dapat menjadi emosi paling intim antara dua orang yang ingin berbagi. Dengan belajar untuk lebih bijaksana dan bertanggung jawab, Anda tidak hanya menjadi lebih tenang dan sehat, tapi juga akan lebih bahagia," jelas Reece. (umi)